Sabtu, 19 Mei 2012

Penetapan Kadar Obat dalam sampel Biologis

PENETAPAN KADAR OBAT DALAM SAMPEL BIOLOGIS

ABSTRAK
Faramakokinetik obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorbsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Selanjutnya dengan atau tanpa biotransformasi obat dieksresi dari tubuh. Seluruh proses ini yang disebut dengan proses farmakokinetik dan berjalan secara serentak. Percobaan menggunakan tikus sebagai hewan uji yang sebelumnya diberi parasetamol 150 mg/kgbb, dengan selang waktu 1,5-2 jam untuk mencapai kadar puncak. Hewan uji tersebut diambil organ penting (hati, paru-paru, ginjal) untuk mengukur kadar yang terkandung didalamnya. Metabolisme obat terjadi terutama dihati yaitu dimembran retikulum endoplasma. Reaksi metabolisme terdiri dari reaksi fase 1 dan reaksi fase 2. Enzim yang berperan dalam metabolisme adalah enzim CYP. Pada percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kadar yang terdapat pada sampel biologis..
Kata kunci: Biotransformasi, Sampel biologis
RUMUSAN MASALAH
            Pada organ biologis apa, obat dapat dimetabolisme secara maksimal?
TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui metabolisme obat yang paling maksimal.
TEORI DASAR
Berdasarkan jenis atau bentuknya, interaksi obat diklasifikasikan atas:
a.   Interaksi secara kimia / farmasetis
b.   Interaksi secara farmakokinetik
c.   Interaksi secara fisiologi
d.   Interaksi secara farmakodinamik
           
Farmakokinetik
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorbsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Selanjutnya dengan atau tanpa biotransformasi obat dieksresi dari tubuh. Seluruh proses ini yang disebut dengan proses farmakokinetik dan berjalan secara serentak.
Pada pemberian obat secara oral, obat harus mengalami proses sebagai berikut antara lain:
a.       Absorbsi
b.      Distribusi
c.       Eliminasi

Model Non Kompartemen
Untuk memeperkirakan nilai parameter farmakokinetik dapat dilakukan dengan yaitu dengan model non kompartemen. Metode ini dikerjakan atas dasar perkirakan luas daerah di bawah kurva (AUC) obat dalam darah terhadap waktu. Model ini tidak perlu adanya asumsi tentang model kompartemen sehingga dalam semua proses harus mengikuti kinetika orde satu harus dipenuhi yang berarti farmakokinetiknya harus linier.
Model non kompartemen digunakan untuk menghitung parameter absorbsi, distribusi, dan eliminasi berdasarkan teori momen statistik. Penaksiran AUC tidak hanya digunakan untuk menghitung bioavailabilitas, tapi dapat juga digunakan untuk menghitung clearance obat yang sama pada perbandingan dosis intravena, dengan AUC. Semua parameter farmakokinetik,clearance kebanyakan digunakan dalam aplikasi klinik dan juga digunakan untuk evaluasi mekanisme eliminasi.(Gunawan, Sulistia G, dkk.2009)
Parasetamol yang diberikan secara oral absorbsinya berhubungan dengan tingkat pengosongan lambung. Konsentrasi darah puncak biasanya tercapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh acetaminofen adalah 2-3 jam dan relatif tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal (Katzung, 2004).
gambar 1. Struktur parasetamol

Parasetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu kelompok yang heterogen. Obat ini termasuk dalam derifat-asetanilida, ini merupakan metabolit  dari  fenasetin  yang  dulu  banyak  digunakan  sebagai  analgetik.  Pada tahun 1978 obat ini telah ditarik dari peredaran, karena efek sampingnya (karsinogen dan nefrotoksisitas). Parasetamol mempunyai aktivitas sebagai analgesik dan antipiretik dengan sedikit efek anti-inflamasi. Parasetamol dianggap sebagai obat yang paling aman untuk swamedikasi. Walaupun harus diperhatikan bahwa kelebihan dosis parasetamol dapat mengakibatkan nekrosis hati pada manusia dan hewan. (Katzung, 2004)
Parasetamol merupakan salah satu metabolit fenasetin, namun fenasetin menimbulkan gejala keracunan yang agak lain, yaitu methemoglobinemia, sedangkan kelainan pada ginjal lebih sering. Hati tidak bisa melakukan detoksifikasi parasetamol, karena jumlah obat yang besar itu menjadikan hati jenuh untuk kapasitas metabolisme normal. Keracunan serius bisa terjadi dengan kira-kira sedikatnya 12-20 tablet parasetamol, tergantung dari kapasitas individual setiap orang. Waktu paruh parasetamol dalam darah (normal 2 jam) juga sangat memanjang (lebih dari 4 jam), sehingga dipakai sebagai ukuran untuk menilai derajat keseriusan keracunan. Sebaiknya parasetamol tidak diberikan pada penderita yang mempunyai gangguan fungsi hati, misalnya hepatitis akut maupun kronik. Semua NSAID mempunyai efek samping keracunan kronis terjadi pada ginjal tapi sifat ini dimiliki semua NSAID disebut analgetic nephropathy. Nefropati baru terjadi, pemakaian terus-menerus selama bertahun-tahun sampai 10-20 tahun. Ginjalnya menjadi sklerotik dan akhirnya harus dicangkok ginjal. Jadi, parasetamol merupakan bahan toksis hanya dalam jumlah yang besar. Fenomena ini tidak terlihat bila parasetamol digunakan dalam dosis terapi yaitu 3 kali 1 tablet (orang dewasa). (Katzung, 2004)
METODOLOGI
Percobaan ini dilakukan di laboratorium farmakologi Akademi Farmasi Nasional Surakarta.

ALAT DAN BAHAN
Alat
-          Pipet volume 0,5 ml; 1 ml; 5 ml
-          Labu takar 50 ml; 100 ml
-          Tabung reaksi/ flakon
-          Pipet ukur 5 ml
-          Spektrofotometer dan kuvet
-          Scalpel/ silet
-          Stopwatch
-          Sentrifuge
-          Mortir dan stamfer
-          Gunting, pisau, scalpel
Bahan
-          Larutan parasetamol 10 mg/ml dalam CMC Na 0,5%
-          Asam klorida 6N
-          Natrium nitrit 10%
-          Asam sulfamat 15%
-          Hati, paru paru, ginjal
CARA KERJA
  1. Uji pendahuluan
Hewan uji diberi parasetamol dengan dosis 150 mg/kgbb. Saat obat di perkiran mencapai kadar puncak kira – kira ( 1,5 – 2 jam setelah pemberian ).Hewan uji di korbankan ( dislokasi leher, anastesi eter, benturan fisik ) dan kemudian di ambil organ – organ pentingnya. Lakukan penetapan kadar obat dalam organ tersebut ( liver, ginjal, paru – paru ).
  1. Penetapan kadar dalam sampel biologis
1.      Timbang organ ( hati, paru-paru, ginjal )
2.      Homogenkan organ dengan mortar dan stamfer
3.      Ambil 300 mg bagian organ, tambah 10 ml NaOH 1 N, kemudian  sentifuge 15 menit
4.      Ambil larutan bening
  1. Kuva baku
1.      Sampel 300 mg + ( 10 ml NaOH + parasetamol 10 mg)
2.      Sentrifuge selama 15 menit
3.      Ambil larutan bening (buat seri 10, 15, 20, 25, 30 ppm)
4.      Cari λmax (scaning 200-300nm)
5.      Ukur serapan


  1. Blangko
1.      Sampel 300 mg + 10 ml NaOH 1N
2.      Sentrifuge selama 15 menit
3.      Ambil larutan bening
4.      Pipet 0,1 ml + NaOH 1N ad 10 ml
5.      Add kan hingga 10 ml

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada percobaan ini bertujuan untuk menetapkan kadar obat dalam sampel hati, ginjal, paru-paru pada hewan uji tikus. Untuk mengetahui kadar obat dalam sampel organ dapat dilakukan dengan bioanalisis. Bioanalisis adalah analisis secara kualitatif maupun kuantitatif suatu bahan obat maupun sediaan obat dalam sampel biologis. Bioanalisis dapat dibedakan menjadi 4:
1.      Bioanalisis kualitatif
2.      Bioanalisis kuantitatif
3.      Bioanalisis in-vivo
4.      Bioanalisis in-vitro
Bioanalisis yang digunakan pada percobaan ini adalah bioanalisis secara kuantitatif dan in-vivo. Bioanalisis kuantitatif adalah analisis suatu bahan obat maupun sediaan obat pada sampel biologis yang di dasarkan pada keberadaan senyawa, dengan cara melakukan penetapan kadarnya. Bioanalisis in-vivo adalah  obat dimasukan dalam subyek uji untuk melihat efek atau pengaruh tubuh terhadap obat, dan sampel biologis berupa sampel darah,urin,seliva,biopsi jaringan,organ atau sampel yang lain.
Pada percobaan ini obat yang digunakan adalah parasetamol. Parasetamol atau  asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu kelompok yang heterogen. Obat ini termasuk dalam derifat-asetanilida, ini merupakan metabolit dari fenasetin yang banyak digunakan sebagai analgetik. Parasetamol merupakan salah satu metabolit fenasetin, namun fenasetin menimbulkan gejala keracunan yang lain, yaitu methemoglobinemia, sedangkan kelainan pada ginjal lebih sering. Hati tidak bisa melakukan detoksifikasi parasetamol, karena jumlah obat yang besar itu menjadikan hati jenuh untuk kapasitas metabolisme normal.
Interaksi secara farmakokinetik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, biotransformasi /metabolisme, atau ekskresi obat lain. Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorbsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Selanjutnya dengan atau tanpa biotransformasi obat dieksresi dari tubuh. Seluruh proses ini yang disebut dengan proses farmakokinetik dan berjalan secara serentak.
Metabolisme parasetamol terjadi di hati. Metabolit utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal. Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggungjawab terhadap efek toksik (racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p-benzo-kuinon imina).
Waktu paruh parasetamol dalam darah (normal 2 jam) juga sangat memanjang (lebih dari 4 jam), sehingga dipakai sebagai ukuran untuk menilai derajat keseriusan keracunan. Parasetamol yang diberikan secara oral absorbsinya berhubungan dengan tingkat pengosongan lambung. Konsentrasi darah puncak biasanya tercapai dalam30-60 menit. Waktu paruh acetaminofen adalah 2-3 jam dan relatif tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal.
Untuk mengetahui kadar obat didalam tubuh dilakukan dengan mengambil sampel biologis dari subyek uji yaitu tikus. Pengambilan sampel biologis dari subyek uji yaitu tikus dilakukan dengan pembedahan setelah 1,5 jam pemberian obat, yang bertujuan agar obat telah mengalami fase farmakokinetik. Pengambilan sampel biologis dari subyek uji tikus dilakukan dengan cara pembedahan setalah hewan dikorbankan. Sampel biologis yang diambil adalah hati, paru-paru, ginjal. Masing- masing sampel dihaluskan hingga didapatkan ekstrak sampel. Ekstrak dari masing-masing organ ditimbang  dan ditambah larutan NaOH dan di sentrifuge selama 10 menit dengan kecepatan tertentu. Perlakuan sentrifuge bertujuan untuk mendapatkan ekstrak bening dari sampel yang akan dianalisis. Penambahan NaOH bertujuan untuk melarutkan parasetamol dan untuk meningkatkan intensitas serapan(absorbansi). Masing-masing sampel diukur absorbansinya menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 435 nm. Data absorbansi mencerminkan konsentrasi zat yang dianalisis yang terdapat dalam pembawanya dalam hal ini adalah paru-paru, ginjal dan hati.  Dari data absorbansi dapat diketahui kadar obat dalam masing-masing sampel biologis.
Dari data absorbansi dapat diketahui bahwa nilai absorbansi rata-rata obat yaitu parasetamol didalam hati 1,4516 ; didalam ginjal 1,0937 ;dan didalam paru-paru 1,4701. Secara teoritis kadar terbesar parasetamol  berturut-turut adalah terdapat pada hati, ginjal dan paru-paru, tetapi dalam hasil praktik didapatkan bahwa kadar terbesar obat terdapat pada sampel paru-paru,hati dan ginjal. Karena dapat diketahui bahwa parasetamol memiliki waktu paruh 2-3 jam, selain itu absorbsi parasetamol yang diberikan secara peroral sangat dipengaruhi oleh waktu pengosongan lambung. Bila waktu pengosongan lambung cepat maka absorbsi obat juga akan cepat, tetapi bila waktu pengosongan lambung lama maka absorbsi obat juga akan lama, karena absorbsi parasetamol terganggu dengan adanya makanan.  Sehingga waktu pengosongan lambung akan mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dan akan berpengaruh pada nilai kadar obat didalam masing-masing sampel. Paru-paru memiliki kadar parasetamol terbesar dapat dikarenakan, tubuh memiliki kemampuan untuk segera memetabolisme obat. Metabolit tidak aktif  parasetamol yaitu sulfat dan konjugat glukoronidasi yang dibawa oleh darah terserap oleh paru-paru sehingga didalam paru-paru juga terdapat parasetamol dalam bentuk metabolit tidak aktifnya.
Berkurangnya kadar obat dalam plasma dan lamanya efek tergantung pada kecepatan metabolisme dan ekskresi. Faktor ini menentukan kecepatan eleminasi obat yang dinyatakan dengan plasma half-life eliminasi (waktu paruh atau t1/2) yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi menurun sampai separuhnya. Plasma half-life juga tergantung dari kecepatan biotransformasi/metabolisme dan ekskresi obat. Obat dengan metabolisme cepat maka half lifenya pendek. Sedangkan obat yang tidak mengalami proses bitransformasi, obat dengan siklus enterohepatik, obat yang diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, obat dengan presentase pengikatan pada protein yang tinggi mempunyai plasma half time panjang.
Nilai absorbansi yang dihasilkan tidak sesuai berdasar teorinya ini dapat disebabkan luas permukaan dinding usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan saluran cerna dan aliran darah ketempat absorpsi pada hewan uji, kecepatan aktivitas farmakokinetik obat yang meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Juga dapat disebabkan dari pemerian yang kurang tepat pada jaringan yang dituju.
 
KESIMPULAN
Dari hasil uji dapt diketahui bahwa kadar parasetamol terbesar terdapat di sampel paru-paru,ginjal dan hati. Hal ini dapat disebabkan antara lain waktu pengosongan lambung pada hewan uji, kecepatan aktivitas farmakokinetik obat yang meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Juga dapat disebabkan dari pemerian yang kurang tepat pada jaringan yang dituju.
PUSTAKA
Gunawan, Sulistia G, dkk.2009. Farmakologi dan Terapi edisi V. FKUI :Jakarta
Katzung. Bertram G, 2004. Farmakologi Dasar Dan Klinik. SaLemba Medika: Surabaya

1 komentar:

  1. Casino Baccarat | | FEBCASINO Casino
    The rules and regulations of the casino's 1xbet license. You do have the right 인카지노 to bet on the game, as long as you agree to the game. The game is 바카라 played with one of

    BalasHapus